Selasa, 20 Maret 2018

Demokrasi Indonesia diunjung Tanduk #tolakpascabelakunyaUUMD3

DEMOKRASI INDONESIA DIUJUNG TANDUK

Tulisan ini dibuat oleh penulis semata-mata ingin berkontribusi melalui tulisan yang merasa bangga melihat semangat para Pegiat pergerakan mahasiswa yang sedang di gelar diseluruh pelosok negeri, terkhusus di kota Yogyakarta yang sedang melaksanakan aksi akbar menolak revisi UU MD3 pada hari selasa 20 Maret 2018 di sepanjang jalan Abu Bakar Ali menuju pusat keramaian Maliobor.
Wacana Revisi UU MD3 ini semakin santer pasca banyaknya kasus pidana yang menjerat para pejabat-pejabat DPR RI yang sedang menjabat, duduk gagah sebagai perwakilan serta representatif rakyat dengan amanah yang diberikan oleh Konstitusi (Pasal 20 UUD NRI 1945) malah seakan memberikan suatu ruang bebas untuk para Pejabat DPR RI dalam menafsirkan serta mengintepretasikan wewenangnya ke arah yang cenderung menabrak ketentuan hukum yang berlaku, sebagai salah satu contoh yaitu Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang saat ini mendekam dibalik jeruji besi dikarenakan melakukan tindak pidanan korupsi dalam kasus Korupsi KTP elektronik.
Disamping itu, muncul pemikiran antah berantah dari DPR RIseolah antitesis dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan olehnya, dengan kondisi yang seakan terpukul melihat Mantan Ketua nya tersebut dijerat kasus korupsi, sehingga DPR RI berkesimpulan bahwa marwah dari DPR RI seakan telah hilang dan musnah dikarenakan banyak sekali kritik dari publik, sehingga pada akhirnya muncul keinginan untuk melakukan Revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang  MD3.
Revisi UU MD3 yang sangat kontroversial baru-baru ini adalah meliputi Pasal 73, 122, dan 245 ayat (1) UU No 17 Tahun 2014. Penulis akan memulai memberikan pandangan mengenai konsekuensi atas revisi Pasal 73, Pasal 73 sebelum revisi berbunyi “bahwa polisi membantu memanggil pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR” dengan ditambahkan kalimat pada perubahannya yaitu “ DPR berhak melakukan pemanggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Republik Indonesia” mengenai wewenang Kepolisian RI dalam penegakan hukum yang seakan terlihat rendah dan dicampur adukan nantinya kedalam perpolitikan, padahal sejatinya Kepolisian RI merupakan Alat Negara yang menjadi tameng utama dalam penegakan hukum diindonesia, namun demikian usulan revisi ini menghendaki bahwa wewenang Kepolisian dalam melakukan Pemanggilan paksa, Konsekuensi nantinya yang akan dihadapi adalah ketika DPR sedang melakukan pemeriksaan  dapat meminta POLRI membantu melaksanakan penjemputan secara paksa terhadap orang yang sedang diperiksa oleh DPR tersebut. Faktanya POLRI dalam hal telah ini berada dalam ranah eksekutif sebagai corong penegakan hukum diindonesia, dan menjadi bertentangan dengan Konstitusi apabila harus mesuk ke ranah legislatif, kecuali hal tersebut berkaitan dengan pelanggaran hukum Pidana, barulah Fungsi Kepolisian dapat dilaksanakan, bukan malah menjadi alat dari DPR untuk menjemput paksaorang guna kepentingan Pemeriksaan di dalam Internal DPR, lantas bila begitu apa bedanya polisi dengan satpam yang bekerja di dalam gedung DPR RI??
Mengenai Pasal 122 huruk (k) tentang “Pidana untuk kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya” hal ini dikritik oleh Mahfud MD, menurut Prof Mahfud MD bahwa DPR itu sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan, mengapa? Masalah yang terjadi di DPR rata-rata adalah permasalahan etik, dan seharusnya etik tidak perlu dimasukan dalam problem hukum, karena senyatanya permasalahan etik dapat diselesaikan melalui dewan etik /MKD, tidak perlu merubah UU nya, toh senyatanya apabila ada yang menghina DPR sudah ada diatur didalam KUHP mengenai penghinaan dan Pencemaran nama baik”. Berikut Prof. Denny Indrayana menyampaikan bahwa “yang perlu diatasi itu adalah integritas orang-orang yang duduk di DPR tersebut, mengapa merasa marwah instansi diremehkan atau dijatuhkan?toh yang melakukan tindakan tidak senonoh adalah pribadi dari DPR nya, bukan instansinya, sehingga menjadi suatu kerancuan dan pertentangan bagi publik apabila permasalahan yang mengikat pribadi DPR seakan ditarik pula marwah Instansi DPR, hal ini perlu dipisahkan bahwa yang salah adalah pribadinya, bukan instansinya, sehingga untuk apa DPR melakukan penambahan kausa pidana didalam UU MD3”. Hal ini juga memberikan kekhawatiran bagi publik, karena dengan berlakunya kausa pidana ini seakan memberikan ruang bagi DPR untuk melakukan Kriminalisasi oleh siapapun, dan juga hal ini ditakutkan akan mampu mendeskreditkan ruang berpendapat publik terhadap kritik kinerja ataupun saran kepada DPR RI, padahal kebebesan berpendapat merupakan corong demokrasi yang telah diatur secara jelas di dalam KONSTITUSI, bukankah hal ini bertentangan dengan konstitusi?
Terkait Pasal 245 ayat 1, menurut penulis pasal itu juga dianggap melawan konstitusi. Itu karena hak imunitas anggota DPR yang diatur di pasal tersebut berlaku untuk semua tindakan yang dilakukan anggota DPRPemberian hak imunitas kepada anggota DPR berdasarkan UUD 1945 harus selalu dibaca dalam konteks pelaksanaan tugas, wewenang dan fungsi anggota DPR. Hal ini mengakibatkan multitafsir, sedangkan menurut Prof Muchsan, Peraturan Perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang mengatur secara konkrit sehingga tidak menyebabkan pembacanya memiliki tafsiran yang berbeda dari maksud dibuatnya UU tersebut, disamping itu sifat dari UU adalah peraturan pelaksana, jika tidak konkrit bagaimana UU tersebut akan dilaksanakan.
Dari semua revisi UU No 17 Tahun 2014 ttg MD3 tersebut senyatanya menimbulkan banyak kerisauan bagi semua kalangan publik, baik akademisi serta praktisi hukum yang sama-sama berjuang dalam menegakan hukum, pun mahasiswa yang merupakan penyalur suara rakyat, tentunya revisi UU MD3 ini akan membangunkan kembali pergerakan mahasiwa untuk dapat mengambil andil dalam mempertahankan demokrasi Indonesia, bila diibaratkan revisi UU MD3 ini akan membangunkan singa yang sedang tertidur nyenyak. 
Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis berharap kepada seluruh pergerakan mahasiswa untuk dapat melepaskan dan menurunkan ego sentrisme demi membangun persatuan kembali sehingga dapat bersama-sama mempertahankan demokrasi Indonesia yang telah diujung tanduk ini. Karena sesuai dari Pesan Ir Soekarno bahwa “IMPERIALISME HANYA DAPAT DIHANCURKAN DENGAN PERSATUAN”
Sekian yang dapat penulis tuliskan sembari tersenyum bangga akan bangkitnya pergerakan mahasiswa.
Selasa, 20 Maret 2018
Halim perdanakusuma, Jakarta
DIPO SEPTIAWAN
HAMBA ALLAH
VIVA JUSTICIA!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar